[Klarifikasi] 14 Januari Adalah Perpanjangan Kontrak Freeport.
Beredar rumor bahwa Menteri ESDM memperpanjang kontrak dan mengalihkan isu tersebut dengan tragedi terorisme di Jakarta. Tidak, itu hanya rumor yang tidak benar.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengklarifikasi adanya pertemuan antara dirinya dengan pejabat PT Freeport Indonesia (PT FI) terkait perpanjangan kontrak.
"Foto itu bukan Februari ketika Moffet (mantan bos Freeport McMoran) bertemu dan mengenalkan CEO baru. Isi beritanya Desember dan yang dikutip adalah ibu Siti Zuhro yang tidak tahu duduk soal dan mengomentari situasi di Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI," jelas Sudirman dalam penjelasannya di kepada wartawan, Jumat (15/1/2016).
Menurut dia, ada oknum yang ingin memanaskan kembali perihal masalah perpanjangan kontrak Freeport. Apalagi, pada 14 Januari kemarin merupakan batas waktu penawaran divestasi saham Freeport Indonesia sebesar 10,64 persen.
"Sekarang sedang diputar entah oleh siapa, seolah-olah Freeport dapat perpanjangan di tengah suasana kasus terorisme," tambah dia.
Sudirman menjelaskan jika pada 14 Januari kemarin adalah batas waktu PT Freeport Indonesia harus menyampaikan surat penawaran divestasi dengan angka nilai saham yang akan didivestasi.
"Kebetulan Freeport Indonesia sudah sampaikan surat itu sejak dua hari lalu, jadi tidak ada persoalan lagi," tegas dia.
Sekadar informasi, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengatakan jika Freeport, sehari sebelum batas waktu berlaku, yakni 13 Januari, sudah memberikan penawaran divestasi saham sebesar 10,64 persen.
Bambang menjelaskan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dinyatakan Freeport wajib mengajukan sisa penawaran sahamnya yakni sebesar 10,64 persen paling lambat 14 Januari 2016 ini sudah dipenuhi. Freeport menawarkan untuk saham sebesar 10,64 persen tersebut sekitar USD1,7 miliar.
"Mereka telah menawarkan sahamnya yang sesuai dengan kewajiban Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 dimana mereka harus menawarkan 10,64 persen. Kemudian yang 10,64 persen menjadi USD1,7 miliar," beber Bambang.
Pengalihan Isu Kontrak Freeport Pada Tanggal 14 Januari :
Aksi terorisme di Sarinah Jakarta, sebelumnya diisukan oleh netizen merupakan pengalihan isu proses penawaran divestasi saham tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Bambang Gatot Ariyono, menyayangkan adanya pihak yang beranggapan bahwa hal itu merupakan pengalihan isu.
“Enggak ada hubungannya, enggak ada kaitan dan hubungannya antara bom dan isu Minerba,” ujar Bambang saat ditemui di kantornya, Kamis (14/1).
Ia menyampaikan, penawaran divestasi saham telah diajukan Freeport kepada pihaknya pada hari ini. Untuk hal itu, kata dia, pemerintah masih akan mempertimbangkan penawaran yang diajukan seharga harga US$1,7 miliar atau sekitar Rp23,63 triliun untuk 10,64 persen saham yang akan dilepas.
“Kami masih punya waktu yang lama untuk mengevaluasi, jadi enggak langsung sepakat dengan harga yang ditawarkan mereka,” ucap dia
Kenapa Pemerintah Belum Memutuskan Divestasi Freeport?
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Keuangan, dan Kemenko Perekonomian masih berembuk soal divestasi saham PT Freeport sebesar 10,64 persen.
Menurut Deputi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Perekonomian, Montty Girianna pemerintah masih punya waktu 60 hari dari batas waktu (deadline) penawaran yang berakhir Kamis kemarin. Perusahaan tambang emas ini sebelumnya sudah mengajukan penawaran divestasi saham dengan nilai penawaran USD1,7 miliar atau sekitar Rp23,67 triliun.
Menurut Montty, tiga kementerian terkait sedang menghitung nilai saham yang ditawarkan Freeport Indonesia. Hasilnya, akan dilaporkan kepada Menko Perekonomian, Darmin Nasution di rapat koordinasi.
"Masih ada waktu 60 hari sejak 14 Januari, ini kami lagi hitung. Nanti dibicarakan dulu dengan Kementerian Keuangan dan pasti akan dibawa ke sini (kantor Menko Perekonomian), untuk kemudian hasilnya dilaporkan kepada Presiden," ujar Montty di Jakarta, seperti diberitakan Sabtu (16/1/2016).
Menurut Montty, ada beberapa opsi akuisisi saham Freeport Indonesia yakni berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016, maupun lewat BUMN. Seperti diketahui, Kementerian BUMN sudah menunjuk PT Aneka Tambang Tbk dan PT Inalum (Persero) untuk mencaplok saham anak usaha Freeport McMoran itu.
"Bisa dianggarkan kok di APBN-P 2016, tinggal dicari posnya. Itu tidak masalah, Kan nanti yang dapat manfaat pemerintah atau BUMN juga. Jadi tinggal harganya saja berapa," paparnya.
Dengan nilai pengajuan harga saham hingga Rp23 triliun, lanjut Montty, BUMN harus membentuk atau mendirikan konsorsium perusahaan pelat merah yang akan mampu mengelola tambang emas dan mineral Freeport Indonesia di Papua.
"Jangan cuma satu BUMN yang ambil, bentuk semacam konsorsium. Uangnya tidak akan cukup kalau cuma satu BUMN. Yang penting kesiapan kita mengelola nantinya tambang Freeport," jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Sonny Loho mengaku, belum melihat surat resmi dari Menteri ESDM mengenai tindaklanjut penawaran harga saham dari Freeport Indonesia.
"Saya belum lihat surat Menteri ESDM. Nanti kita perlu membahas terlebih dulu untuk keputusan membeli atau tidaknya dengan harga berapa dan siapa yang akan ambil," jelas dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengaku tidak ada anggaran dalam APBN 2016 untuk membeli saham Freeport. "Tidak ada anggarannya," pungkasnya.
Sebagai tambahan, berikut catatan tentang Divestasi Saham Dalam rangka Investasi :
Dalam finansial dan ekonomi, divestasi adalah pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki oleh perusahaan. Ini adalah kebalikan dari investasi pada aset yang baru.
Perusahaan memiliki beberapa motif untuk divestasi.
Pertama, sebuah perusahaan akan melakukan divestasi (menjual) bisnis yang bukan merupakan bagian dari bidang operasional utamanya sehingga perusahaan tersebut dapat berfokus pada area bisnis terbaik yang dapat dilakukannya. Sebagai contoh, Eastman Kodak, Ford Motor Company, dan banyak perusahaan lainnya telah menjual beragam bisnis yang tidak berelasi dengan bisnis utamanya.
Motif kedua untuk divestasi adalah untuk memperoleh keuntungan. Divestasi menghasilkan keuntungan yang lebih baik bagi perusahaan karena divestasi merupakan usaha untuk menjual bisnis agar dapat memperoleh uang. Sebagai contoh, CSX Corporation melakukan divestasi untuk berfokus pada bisnis utamanya yaitu pembangunan rel kereta api serta bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga dapat membayar hutangnya pada saat ini.
Motif ketiga bagi divestasi adalah kadang-kadang dipercayai bahwa nilai perusahaan yang telah melakukan divestasi (menjual bisnis tertentu mereka) lebih tinggi daripada nilai perusahaan sebelum melakukan divestasi. Dengan kata lain, jumlah nilai aset likuidasi pribadi perusahaan melebihi nilai pasar bila dibandingkan dengan perusahaan pada saat sebelum melakukan divestasi. Hal ini memperkuat keinginan perusahaan untuk menjual apa yang seharusnya bernilai berharga daripada terlikuidasi pada saat sebelum divestasi.
Motif keempat untuk divestasi adalah unit bisnis tersebut tidak menguntungkan lagi. Semakin jauhnya unit bisnis yang dijalankan dari core competence perusahaan, maka kemungkinan gagal dalam operasionalnya semakin besar.
Saham adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dengan menerbitkan saham, memungkinkan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pendanaan jangka panjang untuk ‘menjual’ kepentingan dalam bisnis – saham (efek ekuitas) – dengan imbalan uang tunai. Ini adalah metode utama untuk meningkatkan modal bisnis selain menerbitkan obligasi. Saham dijual melalui pasar primer (primary market) atau pasar sekunder (secondary market).
Ada beberapa tipe dari saham, termasuk saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock).Saham preferen biasanya disebut sebagai saham campuran karena memiliki karakteristik hampir sama dengan saham biasa. Biasanya saham biasa hanya memiliki satu jenis tapi dalam beberapa kasus terdapat lebih dari satu, tergantung dari kebutuhan perusahaan. Saham biasa memiliki beberapa jenis, seperti kelas A, kelas B, kelas C, dan lainnya. Masing-masing kelas dengan keuntungan dan kerugiannya sendiri-sendiri dan simbol huruf tidak memiliki arti apa-apa.
Saham Preferen memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki berbagai tingkat, dapat diterbitkan dengan karakteristik yang berbeda
2. Tagihan terhadap aktiva dan pendapatan, memiliki prioritas lebih tinggi dari saham biasa dalam hal pembagian dividen
3. dividen kumulatif, bila belum dibayarkan dari periode sebelumnya maka dapat dibayarkan pada periode berjalan dan lebih dahulu dari saham biasa
4. Konvertibilitas, dapat ditukar menjadi saham biasa, bila kesepakatan antara pemegang saham dan organisasi penerbit terbentuk
Saham Biasa Memiliki karakteristik:
1. Hak suara pemegang saham, dapat memillih dewan komisaris
2. Hak didahulukan, bila organisasi penerbit menerbitkan saham baru
3. Tanggung jawab terbatas, pada jumlah yang diberikan saja
Investasi ekuitas umumnya berhubungan dengan pembelian dan penyimpanan saham modal pada suatu pasar modal oleh investor baik perorangan (individu) maupun perusahaan (institusi) dalam mengantisipasi pendapatan dari deviden dan keuntungan modal sebagaimana nilai saham tersebut yang meningkat. Hal tersebut juga kadang kadang berkaitan dengan akuisisi saham (kepemilikan) dengan turut serta dalam suatu perusahaan swasta (tidak tercatat di bursa) atau perusahaan baru ( suatu perusahaan sedang dibuat atau baru dibuat). Ketika investasi dilakukan pada perusahaan yang baru, hal itu disebut sebagai investasi modal ventura dan pada umumnya dipahami mempunyai risiko yang lebih besar dari investasi yang dilakukan pada situasi-situasi dimana saham tersebut tercatat di bursa.
Penyertaan secara langsung dapat dilakukan oleh investor dengan beberapa cara :
1. Investasi modal ventura
2. Investasi penyertaan modal secara langsung pada perusahaan yang telah berdiri dan tidak tercatat di pasar modal. Biasanya dilakukan untuk memperkuat posisi keuangan perusahaan, ekspansi bisnis perusahaan atau dapat juga guna menyelamatkan oparasional perusahaan karena kesulitan likuiditas.
3. Investasi secara langsung pada perusahaan yang telah tercatat pada pasar modal. Pada umumnya jual beli saham dilakukan dengan menggunakan jasa pialang (di Indonesia dikenal dengan istilah perusahaan perantara perdagangan efek), sedangkan mekanisme perdagangan ditetapkan oleh otoritas pasar modal dan perusahaan perantara perdagangan efek yang bersangkutan.
Investasi tidak langsung pada umumnya dilakukan oleh perorangan dengan melalui penyimpanan reksadana atau bentuk lain yang khusus dari investasi dana terkumpul, sebagian besar dari mereka mencantumkan harga yang terpampang di surat kabar keuangan atau majalah majalah bisnis.
Menurut Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995 pasal 1, ayat (27): “Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi.”
Devistasi Saham Dalam Rangka Investasi yang ada di Indonesia
Setidaknya ada lima perbedaan mendasar antara investasi pemerintah dan penyertaan modal negara :
Pertama, investasi jangka panjang nonpermanen berbeda dengan penyertaan modal negara dari segi time horizon (jangka waktu), kriteria kelayakan, dan timing atau momentum investasi. Investasi jangka panjang nonpermanen perlu kecepatan waktu untuk melakukan atau melepas investasi, sedangkan penyertaan modal negara bisa lebih leluasa waktunya.
Kedua, dasar hukum. Sebagai investasi pemerintah dasarnya adalah ketentuan Pasal 41 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 sebagai aturan pelaksanaan. Dasar hukum penyertaan modal negara adalah Pasal 24 UU Keuangan Negara serta PP No 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Ketiga, status aset. Investasi jangka panjang nonpermanen bukan merupakan pemisahan kekayaan negara, sebaliknya penyertaan modal negara merupakan pemisahan kekayaan negara sehingga memerlukan persetujuan DPR.
Keempat, jumlah modal. Pembelian saham divestasi sebagai investasi pemerintah adalah pelaksanaan kontrak karya sehingga tidak ada penambahan modal kepada PT NNT. Dalam Penyertaan Modal Negara, terdapat penambahan modal.
Kelima, pengendalian oleh Bendahara Umum Negara. Pembelian saham divestasi oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan. PIP adalah kepanjangan tangan pemerintah yang secara struktural berada langsung di bawah Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Sementara status aset yang dijadikan Penyertaan Modal Negara menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Pengelolaannya merupakan kewenangan korporasi, bukan kewenangan pemerintah secara langsung.
Dan yang menjadi kasus hangat di Indonesia beberapa waktu ini adalah tentang kepemilikan saham pemerintah di PT.NNT sekitar 7 %. Berikut keterkaitannya dalam rangka investasi :
Divestasi saham tujuh persen PT Newmont Nusa Tenggara yang dilakukan pemerintah merupakan investasi jangka panjang. Hal itu sesuai dengan pasal 41 ayat 1,2 dan 3 UU Perbendaharaan Negara.
“Divestasi sama sekali bukan penyertaan modal negara dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 ayat 7 UU Keuangan Negara,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Ia menyampaikan hal itu dalam ‘closing statement’ di sidang permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (8/5).
Divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara memicu permasalahan sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi. Terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah dengan DPR dan BPK dalam melihat transaksi pembelian itu.
Menurut pemerintah, pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) tahun 2010 adalah bentuk akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, serta pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Transaksi tersebut merupakan investasi jangka panjang yang bersifat nonpermanen. Pihak DPR dan BPK berpandangan pembelian itu adalah bentuk penyertaan modal negara.
UUD 1945 memuat amanat pemerintahan harus mampu berperan sebagai agen pembangunan. Peran ini hanya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien apabila Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan memiliki wewenang dan tanggung jawab jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk pengelolaan keuangan negara.
UU Keuangan Negara (UU No 17/2003) sebagai salah satu pelaksanaan Pasal 23c UUD 1945 menetapkan Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya, sebagian kekuasaan tersebut dalam Pasal 6 Ayat (2) UU Keuangan Negara dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan bertugas melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara dalam arti seutuhnya, tidak hanya sebagai kasir, tetapi juga pengawas dan manajer keuangan.
Salah satu kewenangan Bendahara Umum Negara dalam Pasal 7 Ayat (2) UU tentang Perbendaharaan Negara (UU No 1/2004) adalah menempatkan uang negara dan mengelola investasi. Pengaturan pengelolaan investasi ini untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi. Selanjutnya Pasal 41 Ayat (3) UU No 1/2004 mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah mengenai investasi pemerintah.
Dalam perjalanannya, telah diterbitkan PP No 8/2007 tentang Investasi Pemerintah yang selanjutnya diubah dengan PP No 1/2008 yang merupakan aturan pelaksanaan investasi pemerintah. Dalam Pasal 10 PP No 1/2008, pelaksanaan kewenangan pemerintah dalam mengelola investasi pemerintah hanya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas, jelas bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sejatinya dapat melakukan investasi pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT tanpa harus meminta persetujuan DPR
Untuk memenuhi kebutuhan penerapan pola pengelolaan keuangan sebagaimana layaknya pengelolaan keuangan korporasi, pemerintah dan DPR menyepakati perlunya badan layanan umum (BLU) sebagai lembaga dalam lingkungan pemerintah. Status BLU menjadi jalan keluar kebutuhan spesifik dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan sebagai agen pembangunan.
Sumber dana BLU dari APBN disalurkan melalui pembiayaan, bukan melalui belanja. Pasal 15 Ayat (5) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja adalah mengatur secara eksplisit belanja kementerian negara/lembaga, bukan rincian pengeluaran pembiayaan yang dialokasikan bagi BLU. Menyamakan pengelolaan keuangan BLU dengan pengelolaan satuan kerja lain di lingkungan kementerian/lembaga berarti mengingkari keberadaan BLU.
Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU. Salah satu kekhususan BLU lainnya adalah penggunaan pendapatan BLU secara langsung untuk membiayai BLU yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 Ayat (4) dan (6) UU No 1/2004.
Berdasarkan hal tersebut, dana investasi pemerintah sesuai UU APBN TA 2011 dapat langsung digunakan pemerintah tanpa harus meminta persetujuan DPR lagi. Dalam hal divestasi 7 persen saham Newmont, perlu diketahui bahwa investasi pemerintah telah tercantum dalam APBN 2011. Sesuai ketentuan Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003, APBN TA 2011 yang telah disetujui oleh DPR telah merinci kebutuhan investasi pemerintah Rp 1 triliun dan dalam APBN TA 2011 dimaksud tidak memiliki catatan apa pun atau tanda bintang. Karena itu, pemerintah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan investasi tanpa persetujuan DPR.
UU APBN setiap tahun adalah ”acte-condition”, berbeda dengan UU lain yang berupa ”acte-regle”. Dalam rangka pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT, sumber pendanaan yang digunakan PIP berasal dari Dana Investasi Pemerintah (reguler) APBN TA 2011 sebesar Rp 1 triliun yang telah disetujui oleh DPR (tidak terdapat catatan/tanda bintang). Persetujuan/pembahasan lebih lanjut di DPR diperlukan apabila ada catatan atau perubahan peruntukan alokasi anggaran.
Dengan demikian, penggunaan dana investasi pemerintah yang ditetapkan UU APBN TA 2011 dapat langsung digunakan pemerintah tanpa harus meminta persetujuan DPR kembali karena telah tercantum dalam APBN 2011.
Sesuai ketentuan Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003, APBN TA 2011 yang telah disetujui oleh DPR telah merinci kebutuhan investasi pemerintah Rp 1 triliun dan dalam APBN TA 2011 dimaksud tidak memiliki catatan apa pun atau tanda bintang sehingga pemerintah bisa melaksanakan investasi pemerintah tanpa harus meminta persetujuan DPR lagi.
Tidak ada ketentuan yang melarang pemerintah untuk membayar saham divestasi, terlebih dana yang diperlukan tersedia dalam rekening dana investasi yang dikelola PIP. Berdasarkan semangat hukum sebagaimana dikatakan oleh Montesquieu dalam De l’esprit des lois bahwa ”la liberte est le droit de faire tout ce que les lois permettent” (kebebasan adalah hak untuk melakukan segala yang diperkenankan oleh UU) dan dikatakan oleh Rousseau dalam Du Contrat Social bahwa ”renoncer a sa liberte, c’est renoncer a sa qualite d’homme” (menyerahkan kebebasan sama saja dengan melepaskan kualitas sebagai manusia), tindakan pemerintah membeli saham divestasi PT NNT bukan hanya sah, bahkan merupakan kebijakan yang sangat patut dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud nyata tanggung jawab agar kekayaan alam di Nusa Tenggara Barat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Seperti yang tertuang di dalam alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut, Pemerintah telah berupaya melakukan pembangunan pada seluruh bidang kehidupan. Salah satu bidang pembangunan yang masih terus digalakkan hingga saat ini adalah bidang ekonomi dengan pertambangan sebagai salah satu sektor utamanya, karena pertambangan merupakan sektor yang sangat diandalkan untuk memberikan pendapatan berupa devisa negara.
Pengelolaan sektor pertambangan telah termaktub di dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Bahkan ayat (3) menegaskan bahwa mineral dan batu bara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sehingga pengelolaannya perlu untuk dilakukan seoptimal mungkin, efisien dan transparan. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya secara berkelanjutan.
Istilah divestasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu divestment. Pengertian divestasi ditemukan dalam Pasal 1 Angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah dan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PM.05/2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah: “Penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain.”
Divestasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang penjualan saham yang dimiliki oleh perusahaan atau cara mendapatkan uang dari investasi yang dimiliki oleh seseorang. Divestasi dapat juga dikonstruksikan sebagai keputusan perusahaan untuk meningkatkan nilai penting aset yang dimiliki perusahaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekuatan perusahaan dalam mengubah struktur aset dan pengalokasian sumber daya.
Divestasi saham pada dasarnya merupakan pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing secara bertahap dengan cara mengalihkan saham tersebut kepada mitra lokal. Secara sederhana dapat dikatakan divestasi saham adalah pengalihan dari pihak asing ke pihak nasional.
Pada bulan Februari 2012, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 yang mengatur tentang pelepasan (divestasi) bertahap saham perusahaan pertambangan asing hingga maksimum 51 persen kepada pihak Indonesia. Urutan yang mengambil alih adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan swasta nasional.
Seiring dengan peraturan pemerintah tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 (Permen ESDM) yang mengatur tentang keharusan mengolah hasil tambang mineral dan batu bara kepada semua pemegang izin usaha pertambangan tiga bulan setelah Permen ESDM keluar, tanpa pengolahan, hasil tambang tidak boleh dieskpor.
Dalam pandangan Menko Perekonomian yang lalu, Hatta Rajasa, PP No. 24 Tahun 2012 merupakan penegasan agar perusahaan asing hanya memiliki saham maksimum 49 persen. Perusahaan yang telah diwajibkan antara lain, Newmont Nusa Tenggara dan Kaltim Prima Coal. Selain itu, pemerintah juga akan mengambil alih semua saham Nippon Asahan Aluminium Jepang, dari PT. Inalum pada31 Oktober 2013.
Jadi, 14 Januari 2016 kemarin adalah batas waktu PT Freeport Indonesia harus menyampaikan surat penawaran divestasi dengan angka nilai saham yang akan didivestasi, bukan yang lain.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengklarifikasi adanya pertemuan antara dirinya dengan pejabat PT Freeport Indonesia (PT FI) terkait perpanjangan kontrak.
"Foto itu bukan Februari ketika Moffet (mantan bos Freeport McMoran) bertemu dan mengenalkan CEO baru. Isi beritanya Desember dan yang dikutip adalah ibu Siti Zuhro yang tidak tahu duduk soal dan mengomentari situasi di Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI," jelas Sudirman dalam penjelasannya di kepada wartawan, Jumat (15/1/2016).
Menurut dia, ada oknum yang ingin memanaskan kembali perihal masalah perpanjangan kontrak Freeport. Apalagi, pada 14 Januari kemarin merupakan batas waktu penawaran divestasi saham Freeport Indonesia sebesar 10,64 persen.
"Sekarang sedang diputar entah oleh siapa, seolah-olah Freeport dapat perpanjangan di tengah suasana kasus terorisme," tambah dia.
Sudirman menjelaskan jika pada 14 Januari kemarin adalah batas waktu PT Freeport Indonesia harus menyampaikan surat penawaran divestasi dengan angka nilai saham yang akan didivestasi.
"Kebetulan Freeport Indonesia sudah sampaikan surat itu sejak dua hari lalu, jadi tidak ada persoalan lagi," tegas dia.
Sekadar informasi, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengatakan jika Freeport, sehari sebelum batas waktu berlaku, yakni 13 Januari, sudah memberikan penawaran divestasi saham sebesar 10,64 persen.
Bambang menjelaskan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dinyatakan Freeport wajib mengajukan sisa penawaran sahamnya yakni sebesar 10,64 persen paling lambat 14 Januari 2016 ini sudah dipenuhi. Freeport menawarkan untuk saham sebesar 10,64 persen tersebut sekitar USD1,7 miliar.
"Mereka telah menawarkan sahamnya yang sesuai dengan kewajiban Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 dimana mereka harus menawarkan 10,64 persen. Kemudian yang 10,64 persen menjadi USD1,7 miliar," beber Bambang.
Pengalihan Isu Kontrak Freeport Pada Tanggal 14 Januari :
Aksi terorisme di Sarinah Jakarta, sebelumnya diisukan oleh netizen merupakan pengalihan isu proses penawaran divestasi saham tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Bambang Gatot Ariyono, menyayangkan adanya pihak yang beranggapan bahwa hal itu merupakan pengalihan isu.
“Enggak ada hubungannya, enggak ada kaitan dan hubungannya antara bom dan isu Minerba,” ujar Bambang saat ditemui di kantornya, Kamis (14/1).
Ia menyampaikan, penawaran divestasi saham telah diajukan Freeport kepada pihaknya pada hari ini. Untuk hal itu, kata dia, pemerintah masih akan mempertimbangkan penawaran yang diajukan seharga harga US$1,7 miliar atau sekitar Rp23,63 triliun untuk 10,64 persen saham yang akan dilepas.
“Kami masih punya waktu yang lama untuk mengevaluasi, jadi enggak langsung sepakat dengan harga yang ditawarkan mereka,” ucap dia
Kenapa Pemerintah Belum Memutuskan Divestasi Freeport?
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Keuangan, dan Kemenko Perekonomian masih berembuk soal divestasi saham PT Freeport sebesar 10,64 persen.
Menurut Deputi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Perekonomian, Montty Girianna pemerintah masih punya waktu 60 hari dari batas waktu (deadline) penawaran yang berakhir Kamis kemarin. Perusahaan tambang emas ini sebelumnya sudah mengajukan penawaran divestasi saham dengan nilai penawaran USD1,7 miliar atau sekitar Rp23,67 triliun.
Menurut Montty, tiga kementerian terkait sedang menghitung nilai saham yang ditawarkan Freeport Indonesia. Hasilnya, akan dilaporkan kepada Menko Perekonomian, Darmin Nasution di rapat koordinasi.
"Masih ada waktu 60 hari sejak 14 Januari, ini kami lagi hitung. Nanti dibicarakan dulu dengan Kementerian Keuangan dan pasti akan dibawa ke sini (kantor Menko Perekonomian), untuk kemudian hasilnya dilaporkan kepada Presiden," ujar Montty di Jakarta, seperti diberitakan Sabtu (16/1/2016).
Menurut Montty, ada beberapa opsi akuisisi saham Freeport Indonesia yakni berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016, maupun lewat BUMN. Seperti diketahui, Kementerian BUMN sudah menunjuk PT Aneka Tambang Tbk dan PT Inalum (Persero) untuk mencaplok saham anak usaha Freeport McMoran itu.
"Bisa dianggarkan kok di APBN-P 2016, tinggal dicari posnya. Itu tidak masalah, Kan nanti yang dapat manfaat pemerintah atau BUMN juga. Jadi tinggal harganya saja berapa," paparnya.
Dengan nilai pengajuan harga saham hingga Rp23 triliun, lanjut Montty, BUMN harus membentuk atau mendirikan konsorsium perusahaan pelat merah yang akan mampu mengelola tambang emas dan mineral Freeport Indonesia di Papua.
"Jangan cuma satu BUMN yang ambil, bentuk semacam konsorsium. Uangnya tidak akan cukup kalau cuma satu BUMN. Yang penting kesiapan kita mengelola nantinya tambang Freeport," jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Sonny Loho mengaku, belum melihat surat resmi dari Menteri ESDM mengenai tindaklanjut penawaran harga saham dari Freeport Indonesia.
"Saya belum lihat surat Menteri ESDM. Nanti kita perlu membahas terlebih dulu untuk keputusan membeli atau tidaknya dengan harga berapa dan siapa yang akan ambil," jelas dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengaku tidak ada anggaran dalam APBN 2016 untuk membeli saham Freeport. "Tidak ada anggarannya," pungkasnya.
Sebagai tambahan, berikut catatan tentang Divestasi Saham Dalam rangka Investasi :
Dalam finansial dan ekonomi, divestasi adalah pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki oleh perusahaan. Ini adalah kebalikan dari investasi pada aset yang baru.
Perusahaan memiliki beberapa motif untuk divestasi.
Pertama, sebuah perusahaan akan melakukan divestasi (menjual) bisnis yang bukan merupakan bagian dari bidang operasional utamanya sehingga perusahaan tersebut dapat berfokus pada area bisnis terbaik yang dapat dilakukannya. Sebagai contoh, Eastman Kodak, Ford Motor Company, dan banyak perusahaan lainnya telah menjual beragam bisnis yang tidak berelasi dengan bisnis utamanya.
Motif kedua untuk divestasi adalah untuk memperoleh keuntungan. Divestasi menghasilkan keuntungan yang lebih baik bagi perusahaan karena divestasi merupakan usaha untuk menjual bisnis agar dapat memperoleh uang. Sebagai contoh, CSX Corporation melakukan divestasi untuk berfokus pada bisnis utamanya yaitu pembangunan rel kereta api serta bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga dapat membayar hutangnya pada saat ini.
Motif ketiga bagi divestasi adalah kadang-kadang dipercayai bahwa nilai perusahaan yang telah melakukan divestasi (menjual bisnis tertentu mereka) lebih tinggi daripada nilai perusahaan sebelum melakukan divestasi. Dengan kata lain, jumlah nilai aset likuidasi pribadi perusahaan melebihi nilai pasar bila dibandingkan dengan perusahaan pada saat sebelum melakukan divestasi. Hal ini memperkuat keinginan perusahaan untuk menjual apa yang seharusnya bernilai berharga daripada terlikuidasi pada saat sebelum divestasi.
Motif keempat untuk divestasi adalah unit bisnis tersebut tidak menguntungkan lagi. Semakin jauhnya unit bisnis yang dijalankan dari core competence perusahaan, maka kemungkinan gagal dalam operasionalnya semakin besar.
Saham adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dengan menerbitkan saham, memungkinkan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pendanaan jangka panjang untuk ‘menjual’ kepentingan dalam bisnis – saham (efek ekuitas) – dengan imbalan uang tunai. Ini adalah metode utama untuk meningkatkan modal bisnis selain menerbitkan obligasi. Saham dijual melalui pasar primer (primary market) atau pasar sekunder (secondary market).
Ada beberapa tipe dari saham, termasuk saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock).Saham preferen biasanya disebut sebagai saham campuran karena memiliki karakteristik hampir sama dengan saham biasa. Biasanya saham biasa hanya memiliki satu jenis tapi dalam beberapa kasus terdapat lebih dari satu, tergantung dari kebutuhan perusahaan. Saham biasa memiliki beberapa jenis, seperti kelas A, kelas B, kelas C, dan lainnya. Masing-masing kelas dengan keuntungan dan kerugiannya sendiri-sendiri dan simbol huruf tidak memiliki arti apa-apa.
Saham Preferen memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki berbagai tingkat, dapat diterbitkan dengan karakteristik yang berbeda
2. Tagihan terhadap aktiva dan pendapatan, memiliki prioritas lebih tinggi dari saham biasa dalam hal pembagian dividen
3. dividen kumulatif, bila belum dibayarkan dari periode sebelumnya maka dapat dibayarkan pada periode berjalan dan lebih dahulu dari saham biasa
4. Konvertibilitas, dapat ditukar menjadi saham biasa, bila kesepakatan antara pemegang saham dan organisasi penerbit terbentuk
Saham Biasa Memiliki karakteristik:
1. Hak suara pemegang saham, dapat memillih dewan komisaris
2. Hak didahulukan, bila organisasi penerbit menerbitkan saham baru
3. Tanggung jawab terbatas, pada jumlah yang diberikan saja
Investasi ekuitas umumnya berhubungan dengan pembelian dan penyimpanan saham modal pada suatu pasar modal oleh investor baik perorangan (individu) maupun perusahaan (institusi) dalam mengantisipasi pendapatan dari deviden dan keuntungan modal sebagaimana nilai saham tersebut yang meningkat. Hal tersebut juga kadang kadang berkaitan dengan akuisisi saham (kepemilikan) dengan turut serta dalam suatu perusahaan swasta (tidak tercatat di bursa) atau perusahaan baru ( suatu perusahaan sedang dibuat atau baru dibuat). Ketika investasi dilakukan pada perusahaan yang baru, hal itu disebut sebagai investasi modal ventura dan pada umumnya dipahami mempunyai risiko yang lebih besar dari investasi yang dilakukan pada situasi-situasi dimana saham tersebut tercatat di bursa.
Penyertaan secara langsung dapat dilakukan oleh investor dengan beberapa cara :
1. Investasi modal ventura
2. Investasi penyertaan modal secara langsung pada perusahaan yang telah berdiri dan tidak tercatat di pasar modal. Biasanya dilakukan untuk memperkuat posisi keuangan perusahaan, ekspansi bisnis perusahaan atau dapat juga guna menyelamatkan oparasional perusahaan karena kesulitan likuiditas.
3. Investasi secara langsung pada perusahaan yang telah tercatat pada pasar modal. Pada umumnya jual beli saham dilakukan dengan menggunakan jasa pialang (di Indonesia dikenal dengan istilah perusahaan perantara perdagangan efek), sedangkan mekanisme perdagangan ditetapkan oleh otoritas pasar modal dan perusahaan perantara perdagangan efek yang bersangkutan.
Investasi tidak langsung pada umumnya dilakukan oleh perorangan dengan melalui penyimpanan reksadana atau bentuk lain yang khusus dari investasi dana terkumpul, sebagian besar dari mereka mencantumkan harga yang terpampang di surat kabar keuangan atau majalah majalah bisnis.
Menurut Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995 pasal 1, ayat (27): “Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi.”
Devistasi Saham Dalam Rangka Investasi yang ada di Indonesia
Setidaknya ada lima perbedaan mendasar antara investasi pemerintah dan penyertaan modal negara :
Pertama, investasi jangka panjang nonpermanen berbeda dengan penyertaan modal negara dari segi time horizon (jangka waktu), kriteria kelayakan, dan timing atau momentum investasi. Investasi jangka panjang nonpermanen perlu kecepatan waktu untuk melakukan atau melepas investasi, sedangkan penyertaan modal negara bisa lebih leluasa waktunya.
Kedua, dasar hukum. Sebagai investasi pemerintah dasarnya adalah ketentuan Pasal 41 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 sebagai aturan pelaksanaan. Dasar hukum penyertaan modal negara adalah Pasal 24 UU Keuangan Negara serta PP No 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Ketiga, status aset. Investasi jangka panjang nonpermanen bukan merupakan pemisahan kekayaan negara, sebaliknya penyertaan modal negara merupakan pemisahan kekayaan negara sehingga memerlukan persetujuan DPR.
Keempat, jumlah modal. Pembelian saham divestasi sebagai investasi pemerintah adalah pelaksanaan kontrak karya sehingga tidak ada penambahan modal kepada PT NNT. Dalam Penyertaan Modal Negara, terdapat penambahan modal.
Kelima, pengendalian oleh Bendahara Umum Negara. Pembelian saham divestasi oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan. PIP adalah kepanjangan tangan pemerintah yang secara struktural berada langsung di bawah Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Sementara status aset yang dijadikan Penyertaan Modal Negara menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Pengelolaannya merupakan kewenangan korporasi, bukan kewenangan pemerintah secara langsung.
Dan yang menjadi kasus hangat di Indonesia beberapa waktu ini adalah tentang kepemilikan saham pemerintah di PT.NNT sekitar 7 %. Berikut keterkaitannya dalam rangka investasi :
Divestasi saham tujuh persen PT Newmont Nusa Tenggara yang dilakukan pemerintah merupakan investasi jangka panjang. Hal itu sesuai dengan pasal 41 ayat 1,2 dan 3 UU Perbendaharaan Negara.
“Divestasi sama sekali bukan penyertaan modal negara dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 ayat 7 UU Keuangan Negara,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Ia menyampaikan hal itu dalam ‘closing statement’ di sidang permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (8/5).
Divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara memicu permasalahan sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi. Terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah dengan DPR dan BPK dalam melihat transaksi pembelian itu.
Menurut pemerintah, pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) tahun 2010 adalah bentuk akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, serta pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Transaksi tersebut merupakan investasi jangka panjang yang bersifat nonpermanen. Pihak DPR dan BPK berpandangan pembelian itu adalah bentuk penyertaan modal negara.
UUD 1945 memuat amanat pemerintahan harus mampu berperan sebagai agen pembangunan. Peran ini hanya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien apabila Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan memiliki wewenang dan tanggung jawab jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk pengelolaan keuangan negara.
UU Keuangan Negara (UU No 17/2003) sebagai salah satu pelaksanaan Pasal 23c UUD 1945 menetapkan Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya, sebagian kekuasaan tersebut dalam Pasal 6 Ayat (2) UU Keuangan Negara dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan bertugas melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara dalam arti seutuhnya, tidak hanya sebagai kasir, tetapi juga pengawas dan manajer keuangan.
Salah satu kewenangan Bendahara Umum Negara dalam Pasal 7 Ayat (2) UU tentang Perbendaharaan Negara (UU No 1/2004) adalah menempatkan uang negara dan mengelola investasi. Pengaturan pengelolaan investasi ini untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi. Selanjutnya Pasal 41 Ayat (3) UU No 1/2004 mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah mengenai investasi pemerintah.
Dalam perjalanannya, telah diterbitkan PP No 8/2007 tentang Investasi Pemerintah yang selanjutnya diubah dengan PP No 1/2008 yang merupakan aturan pelaksanaan investasi pemerintah. Dalam Pasal 10 PP No 1/2008, pelaksanaan kewenangan pemerintah dalam mengelola investasi pemerintah hanya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas, jelas bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sejatinya dapat melakukan investasi pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT tanpa harus meminta persetujuan DPR
Untuk memenuhi kebutuhan penerapan pola pengelolaan keuangan sebagaimana layaknya pengelolaan keuangan korporasi, pemerintah dan DPR menyepakati perlunya badan layanan umum (BLU) sebagai lembaga dalam lingkungan pemerintah. Status BLU menjadi jalan keluar kebutuhan spesifik dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan sebagai agen pembangunan.
Sumber dana BLU dari APBN disalurkan melalui pembiayaan, bukan melalui belanja. Pasal 15 Ayat (5) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja adalah mengatur secara eksplisit belanja kementerian negara/lembaga, bukan rincian pengeluaran pembiayaan yang dialokasikan bagi BLU. Menyamakan pengelolaan keuangan BLU dengan pengelolaan satuan kerja lain di lingkungan kementerian/lembaga berarti mengingkari keberadaan BLU.
Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU. Salah satu kekhususan BLU lainnya adalah penggunaan pendapatan BLU secara langsung untuk membiayai BLU yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 Ayat (4) dan (6) UU No 1/2004.
Berdasarkan hal tersebut, dana investasi pemerintah sesuai UU APBN TA 2011 dapat langsung digunakan pemerintah tanpa harus meminta persetujuan DPR lagi. Dalam hal divestasi 7 persen saham Newmont, perlu diketahui bahwa investasi pemerintah telah tercantum dalam APBN 2011. Sesuai ketentuan Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003, APBN TA 2011 yang telah disetujui oleh DPR telah merinci kebutuhan investasi pemerintah Rp 1 triliun dan dalam APBN TA 2011 dimaksud tidak memiliki catatan apa pun atau tanda bintang. Karena itu, pemerintah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan investasi tanpa persetujuan DPR.
UU APBN setiap tahun adalah ”acte-condition”, berbeda dengan UU lain yang berupa ”acte-regle”. Dalam rangka pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT, sumber pendanaan yang digunakan PIP berasal dari Dana Investasi Pemerintah (reguler) APBN TA 2011 sebesar Rp 1 triliun yang telah disetujui oleh DPR (tidak terdapat catatan/tanda bintang). Persetujuan/pembahasan lebih lanjut di DPR diperlukan apabila ada catatan atau perubahan peruntukan alokasi anggaran.
Dengan demikian, penggunaan dana investasi pemerintah yang ditetapkan UU APBN TA 2011 dapat langsung digunakan pemerintah tanpa harus meminta persetujuan DPR kembali karena telah tercantum dalam APBN 2011.
Sesuai ketentuan Pasal 15 Ayat (5) UU No 17/2003, APBN TA 2011 yang telah disetujui oleh DPR telah merinci kebutuhan investasi pemerintah Rp 1 triliun dan dalam APBN TA 2011 dimaksud tidak memiliki catatan apa pun atau tanda bintang sehingga pemerintah bisa melaksanakan investasi pemerintah tanpa harus meminta persetujuan DPR lagi.
Tidak ada ketentuan yang melarang pemerintah untuk membayar saham divestasi, terlebih dana yang diperlukan tersedia dalam rekening dana investasi yang dikelola PIP. Berdasarkan semangat hukum sebagaimana dikatakan oleh Montesquieu dalam De l’esprit des lois bahwa ”la liberte est le droit de faire tout ce que les lois permettent” (kebebasan adalah hak untuk melakukan segala yang diperkenankan oleh UU) dan dikatakan oleh Rousseau dalam Du Contrat Social bahwa ”renoncer a sa liberte, c’est renoncer a sa qualite d’homme” (menyerahkan kebebasan sama saja dengan melepaskan kualitas sebagai manusia), tindakan pemerintah membeli saham divestasi PT NNT bukan hanya sah, bahkan merupakan kebijakan yang sangat patut dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud nyata tanggung jawab agar kekayaan alam di Nusa Tenggara Barat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Seperti yang tertuang di dalam alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut, Pemerintah telah berupaya melakukan pembangunan pada seluruh bidang kehidupan. Salah satu bidang pembangunan yang masih terus digalakkan hingga saat ini adalah bidang ekonomi dengan pertambangan sebagai salah satu sektor utamanya, karena pertambangan merupakan sektor yang sangat diandalkan untuk memberikan pendapatan berupa devisa negara.
Pengelolaan sektor pertambangan telah termaktub di dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Bahkan ayat (3) menegaskan bahwa mineral dan batu bara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sehingga pengelolaannya perlu untuk dilakukan seoptimal mungkin, efisien dan transparan. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya secara berkelanjutan.
Istilah divestasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu divestment. Pengertian divestasi ditemukan dalam Pasal 1 Angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah dan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PM.05/2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah: “Penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain.”
Divestasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang penjualan saham yang dimiliki oleh perusahaan atau cara mendapatkan uang dari investasi yang dimiliki oleh seseorang. Divestasi dapat juga dikonstruksikan sebagai keputusan perusahaan untuk meningkatkan nilai penting aset yang dimiliki perusahaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekuatan perusahaan dalam mengubah struktur aset dan pengalokasian sumber daya.
Divestasi saham pada dasarnya merupakan pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing secara bertahap dengan cara mengalihkan saham tersebut kepada mitra lokal. Secara sederhana dapat dikatakan divestasi saham adalah pengalihan dari pihak asing ke pihak nasional.
Pada bulan Februari 2012, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 yang mengatur tentang pelepasan (divestasi) bertahap saham perusahaan pertambangan asing hingga maksimum 51 persen kepada pihak Indonesia. Urutan yang mengambil alih adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan swasta nasional.
Seiring dengan peraturan pemerintah tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 (Permen ESDM) yang mengatur tentang keharusan mengolah hasil tambang mineral dan batu bara kepada semua pemegang izin usaha pertambangan tiga bulan setelah Permen ESDM keluar, tanpa pengolahan, hasil tambang tidak boleh dieskpor.
Dalam pandangan Menko Perekonomian yang lalu, Hatta Rajasa, PP No. 24 Tahun 2012 merupakan penegasan agar perusahaan asing hanya memiliki saham maksimum 49 persen. Perusahaan yang telah diwajibkan antara lain, Newmont Nusa Tenggara dan Kaltim Prima Coal. Selain itu, pemerintah juga akan mengambil alih semua saham Nippon Asahan Aluminium Jepang, dari PT. Inalum pada31 Oktober 2013.
Jadi, 14 Januari 2016 kemarin adalah batas waktu PT Freeport Indonesia harus menyampaikan surat penawaran divestasi dengan angka nilai saham yang akan didivestasi, bukan yang lain.
Komentar
Posting Komentar